Seratus tahun lalu kita tidak ada, apalagi seratus tahun di depan. Kita hanya kedipan kecil, sekali kedip sangat cepat dan segera sirna. Apakah kita pernah dicatat? Bila tidak, kedipan kita tidak terdeteksi oleh orang-orang di masa depan. Kita tidak ada.
Baiklah, bicara catatan, kita akan memulainya pada sejarah huruf yang ditemukan oleh bangsa Sumeria 3.000 tahun lalu dari penelitian Georg Scheder. Ini agaknya yang mendorong JW von Goethe berbicara: barang siapa tidak dapat belajar dari masa tiga ribu tahunberarti dia tidak memanfaatkan akalnya.
Sedangkan masa tiga milenium yang pernah dicatat oleh huruf-huruf itu adalah slide terakhir dari sebegitu banyaknya adegan peradaban di bumi. Hanya selama sebatang nyala lilin, bila kita bandingkan dengan 200.000 tahun sejarah Sapiens yang diduga dalam Origin of Species-nya Charles Darwin yang hampir sama lamanya dengan sejarah kenabian yang tercatat dalam kitab suci, tentang Adam dan Hawa. Teorema ateis dan dogma teis, mematok waktu yang sama dan itu bukan kebetulan.
Masa 200.000 tahun pun terlalu sebentar bila dibanding umur bumi yang sudah 4,6 miliar tahun. Masa 200.000 tahun bisa dihabiskan dengan pergi dari tepi galaksi Bima Sakti dan kembali ke posisi semula. Bima Sakti berdiameter 100.000 tahun cahaya, kata kosmolog.
Tapi tiga milenium yang disebut Gothe menjadi sangat penting, seperti nyala lilin yang berkobar di sepanjang abad ke-6 SM, adalah zaman pergolakan intelektual sekaligus spritual yang luar biasa di segala penjuru. Kobaran api sejarah itu tidak hanya berasal filosof Thales, Anaximandros, Pythagoras, dan pesohor lain di Ionia (sebuah kota kuno tempat pemikiran pernah meledak).
Zaman ini adalah juga zaman Fir’aun Nekho yang berlayar mengelilingi Afrika, zaman Zoroaster di Persia, Konfusius dan Lao Zi di Tiongkok, nabi – nabi Yahudi di Israel, Mesir dan Babilonia, serta Budha Gautama di India.
Seabad setelahnya kita mengenal zaman filosof Athena yang abadi, lalu bara api pemikiran dipadamkan oleh penaklukan demi penaklukan oleh seorang murid filsafat Aristoteles dari Macedonia, siapa lagi kalau bukan Alexander Agung.
Dunia memasuki zaman Helenisme, serba Yunani. Sebuah kota bernuansa Yunani di Mesir didirikan. Kota yang kemudian menjadi pusat peradaban dunia.
Aleksandria yang dibangun Alexander ini berdiri perpustakaan super yang diinisiasi oleh Ptolemaeus lalu dibakar oleh pasukan Romawi di bawah Julius Caesar kekasih politik Cleopatra. Setengah juta buku tentang kobaran api abad ke-6 SM itu binasa.
Alexandria kehilangan semua buku Papirus di perpustakaan agungnya dan sejarah pusat peradaban dunia seketika itu tamat. Kita tidak pernah tahu seperti apa dunia sebelum itu, sebab tiga jilid buku sejarah dunia karya pendeta Babilonia bernama Berossos ikut hangus. Volume pertama buku tersebut memuat kisah antara awal Penciptaan dengan Banjir Besar yang membentang sepanjang 432.000 tahun.
Bila buku ini masih ada, Gothe dapat meralat sabdanya menjadi: barang siapa tidak dapat belajar dari masa 432.000 tahun berarti dia tidak memanfaatkan akalnya. Cukup lama dan patut sebanding lama nyala petromaks lebih dari satu malam.
Selain petaka di perpustakaan Aleksandria, pemusnahan buku makin sering terjadi seperti Athena, Baghdad, atau penghancuran buku besar-besaran di era kuno dalam sejarah Cina.
Buku-buku yang dianggap mengritik kaisar dan proses penyatuan Cina pada abad ke-3 SM di bawah Zhao Zheng, pendiri dinasti Qin, dihancurkan. Sejarah penghancuran buku bahkan sama tuanya dengan buku itu sendiri.
Kehilangan begitu banyak buku membuat masa lalu tidak secerlang taburan bintang di galaksi kita. Apalagi dunia pernah terlelap dalam seribu tahun, kecuali di tengah-tengahnya para filosof dan saintis Arabia tetap mengirim percikan-percikan ke masa depan, hingga Eropa kembali bangun dalam kejayaan Renaisans. Mengulang kobaran abad ke-6 SM.
Sejak saat itu, manusia sudah tak terhentikan. Era ini dan selanjutnya adalah era sibuk dengan pelbagai revolusi pikiran. Kita kini berada di musim milenial nirbatas.
Buku-buku yang dulunya menjadi media penyimpanan memori manusia sudah tenggelam dalam lautan data yang hilir mudik selaju cahaya di antara empat miliar pengguna internet di seluruh dunia.
Mesin uap yang pertama kali berdentang di daratan Inggris adalah sebagai penanda revolusi industri, namun jaringan ARPANET dari Departemen Pertahanan US pada 1969 sebagai penanda zaman internet telah merevolusi segalanya.
Ketika membaca sejarah, begitu entengnya kita melompat dari satu milenium ke milenium lain, dari satu abad ke abad lain. Seakan semuanya adalah selang-seling dari kedipan dan kobaran dalam malam singkat.
Tidak sekarang ini, dalam hitungan hari dan bulan selalu ada penemuan baru. Lini masa kita disibukkan oleh kecengangan kepada keajaiban kekinian yang dapat diproduksi oleh teknologi. Lompatan penemuan yang memakan waktu ratusan tahun, dapat terjadi hanya dalam beberapa bulan di abad ini. Waktu benar-benar dipadatkan.
Beberapa orang sedang merancang robot nano yang bisa disuntikkan ke dalam jaringan tubuh manusia untuk melawan kematian. Beberapa lainnya sedang merumuskan wahana bagi pelancong-pelancong kosmos, atau penyempurnaan printer 3D yang nantinya bisa mem-print salinan manusia super sekuat Thor.
Dan hampir seluruh jenis pekerjaan yang bisa dilakukan manusia kini, sudah akan ada alat yang dapat menggantinya dengan hasil yang sangat cepat, sempurna dan hebat.
Bagaimana manusia 100 tahun lagi, apakah dapat beradaptasi dengan semuanya, apakah penerus kita masih ada gunanya? Atau dunia segera kiamat? Atau mereka melawan zaman-menghambat revolusi otak mereka sendiri– dengan menjinakkan teknologi agar terus patuh melayani manusia, atau manusia pergi mencari planet primitif serupa bumi purba untuk memulai segalanya dari awal?. ~
Muhammad Nasir Tahar penulis Kompasiana, writerpreuner sejati, budayawan dan pencinta filsafat bermastautin di Batam