Pengadilan Negeri Telukkuantan Damaikan 8 Perkara Pidana Melalui Restorative Justice

TELUKKUANTAN (KuansingKita) – Sepanjang Septrember 2025, Pengadilan Negeri (PN) Telukkuantan, Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, telah berhasil mendamaikan Korban dan Pelaku dalam 8 (delapan) perkara pidana yang berbeda.
Ketua Pengadilan Negeri Telukkuantan, Subiar Teguh Wijaya, SH melalui juru bicara Pengadilan Negeri Telukkuantan, Aulia Rifki Hidayat, SH dalam keterangan tertulisnya mengungkapkan perdamaian dilakukan melalui upaya restorative justice.
“ Kasus-kasus yang diselesaikan melalui upaya penyelasaian restorative justce itu terdiri dari 8 perkara diantaranya 7 perkara pencurian dan 1 perkara pembakaran rumah,” ujar Rifki dalam keterangan tertulisnya
Lebih jauh Aulia Rifki Hidayat memaparkan alasan-alasan Pengadilan Negeri Telukkuantan mengambil langkah penyelsaian restorative justice. Ia mengatakan tidak semua kejahatan murni bermula dari niat jahat sang Pelaku.
Ada cerita yang sering tak terdengar-tentang himpitan ekonomi, keterbatasan pilihan, atau sekedar mengikuti kehendak intrusif karena melihat adanya kesempatan. Dan begitu kejahatan terjadi, maka akan muncul Korban sebagai pihak yang terluka.
Dalam situasi ini, ada pihak yang terancam keselamatannya, atau kehilangan harta benda, atau juga tercoreng nama baik yang telah dijaga. Keadilan RJ (Restorative Justice) akan dihadirkan untuk menjawab itu semua.
Pengadilan Negeri Telukkuantan melihat peristiwa pidana bukan semata rangkaian tindakan dari Pelaku, tetapi juga mempertimbangkan konteks dan latar belakang yang mewujudkan perbuatan itu terjadi atau aspek kausalitas.
Dalam kondisi ini Pengadilan Negeri Telukkuantan mengupayakan pemulihan hubungan antara Pelaku dengan Korban. Karena tidak semua kesalahan, harus berakhir dengan hukuman. Ada keadaan yang lebih melegakan jika setiap pihak yang bertikai, bersedia untuk berdamai.
“ Sepanjang September 2025, Pengadilan Negeri Telukkuantan telah berhasil mendamaikan Korban dan Pelaku dalam 8 (delapan) perkara pidana yang berbeda,” papar Aulia Rifki dalam keterangan tertulisnya
Kasus-kasus yang dieselesaikan melalui upaya restorative justice itu terdiri dari 7 perkara pencurian buah kelapa sawit berupa brondolan maupun tandan buah sawit (tbs) secara utuh. Dan satu perkara lagi kasus pembakaran rumah.
Dari 7 perkara pencurian buah sawit, sebanyak 6 perkara diselesaikan dengan hukum acara pemeriksaan cepat, karena termasuk tindak pidana ringan dengan nilai kerugian dibawah Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Modus operandi dari perkara pencurian buah sawit tersebut hampir seragam, yaitu pencurian buah kelapa sawit, berupa berondolan buah maupun tandan sawit secara utuh.

Sementara untuk perkara pembakaran rumah, cerita dibaliknya cukup menyayat hati. Pelaku merupakan anak kandung yang tengah berseteru dengan keluarganya, lalu secara gelap mata mencoba membakar rumah milik ibu kandungnya.
Terhadap 7 perkara pencurian buah kelapa sawit, Perkara ini dipimpin oleh Hakim Tunggal, diantaranya Riri Lastiar Situmorang dan Aulia Rifqi Hidayat masing-masing berhasil mendamaikan 2 perkara, serta M. Adli Hakim H dan Diana Widyawati yang masing-masing berhasil mendamaikan 1 perkara.
Untuk 1 perkara pencurian lainnya diselesaikan dengan hukum acara pemeriksaan biasa, dipimpin oleh Widya Helniha sebagai Ketua Majelis, dengan anggota Riri Lastiar Situmorang dan Aulia Rifqi Hidayat.
Sementara terhadap 1 perkara pembakaran rumah, dipimpin oleh Subiar Teguh Wijaya sebagai Ketua Majelis yang juga merupakan Ketua PN Teluk Kuantan, dengan anggota Riri Lastiar Situmorang dan Firman Novianto.
Semua proses perdamaian tersebut terjadi dalam persidangan. Pada awalnya Hakim mempersilahkan Penuntut Umum (PU) untuk membacakan dakwaan, kemudian menanyakan kepada Terdakwa apakah mengajukan keberatan atas dakwaan tersebut atau mengakui perbuatannya.
Dalam aturannya, RJ atau restorative justice hanya bisa diterapkan apabila Terdakwa mengakui perbuatannya. Kemudian Hakim akan menawarkan dan menjelaskan kepada Terdakwa, apakah bersedia untuk meminta maaf kepada Korban.
Apabila pelaku bersedia, berikutnya Hakim akan menanyakan kesediaan Korban untuk memaafkan Pelaku, baik dengan syarat ataupun tanpa syarat. Jika kedua belah pihak telah bersepakat untuk berdamai, maka perdamaian akan dituangkan dalam perjanjian tertulis yang akan dipertimbangkan Hakim dalam memutus perkara pidana tersebut.
Terkait restorative justice, Aulia Rifki lebih menjelaskan dalam memandu persidangan, untuk dapat mengarahkan para pihak menuju perdamaian, Hakim dituntut memiliki skill komunikasi dan ajakan persuasif yang baik.
Ajakan perdamaian tidak bisa dilakukan dengan tekanan, tetapi harus dimulai dengan pembicaraan yang menyentuh hati. Jika kebahagiaan tertinggi bagi petani adalah saat buahnya panen, maka kebahagiaan tertinggi bagi seorang Hakim adalah jika para pihak yang bersengketa bersedia untuk berdamai.
 Namun perlu diingat, tandas Rifki,  perdamaian dalam perkara pidana tidak menghentikan proses penegakan hukum. Jika seluruh unsur pasal yang didakwakan telah terbukti, maka Terdakwa akan tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.
“ Pada akhirnya, perdamaian tersebut akan dipertimbangkan sebagai faktor yang meringankan, untuk dapat menjatuhkan pidana yang minimal atau pidana bersyarat berupa percobaan,” ujar Aulia Rifki Hidsayat dalam keterangan tertulisnya.(rls/smh)
Foto Dokumen PN Telukkuantan

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...