TELUKKUANTAN (KuansingKita) – Sidang sengketa Pilkada yang diajukan Pemohon pasangan H.Halim- Komperensi di Mahkamah Konstitusi akan digelar secara virtual beberapa hari lagi.
ASA sebagai pihak terkait sudah diminta hadir 29 Januari mendatang. Pihak ASA sudah diminta Mahkamah Konstitusi mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan gugatan Pemohon.
“ Kami sudah diberitahu Mahkamah Konstitusi untuk hadir 29 Januari mendatang,” kata pihak ASA melalui Sekretaris DPD Golkar Kuansing, Masdar kepada KuansingKita beberapa hari lalu.
Sidang sengketa Pilkada yang diajukan pihak pemohon H.Halim – Komperensi memang sangat menarik untuk disimak. Pasalnya selisih perolehan suara pihak pemohon jauh melebihi ambang batas.
Padahal dalam pasal 158 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada ada syarat ambang batas selisih perolehan suara. Mulai dari 0,5 persen, 1 persen, 1,5 persen hingga 2 persen
Untuk daerah seperti Kuansing yang jumlah penduduknya antara 250.000 – 500.000 jiwa, syarat selisih perolehan suara harus 1,5 persen dari jumlah suara sah. Kini selisih perolehan suara mencapai 18.000 suara.
Menanggapi pasal 158 UU Nomor 10 tahun 2016, seperti dikutip dari laman resmi MKRI, Wakil Ketua MK Aswanto pernah menyinggungnya dalam bimbingan teknis pengacara konstitusi beberapa waktu lalu.
Aswanto mengatakan dari pengalaman sebelumnya, para pengacara yang berperkara dalam sidang sengketa hasil pilkada seringkali memaknai pasal 158 satu norma sesuai dengan posisinya.
Ketika di posisi Pemohon, pengacara meminta supaya Pasal 158 tidak dipakai. Kalau di posisi Termohon, pengacara meminta supaya Pasal 158 tetap digunakan.
“ Untuk hal yang yang berkaitan dengan norma dalam undang-undang mestinya sudah satu Bahasa,” tandas Aswanto.
Ia menambahkan ada pemikiran, yang diatur dalam Pasal 158 berkaitan dengan pokok perkara. Penentuan persentase itu terkait dengan perolehan suara.
“ Selisih 2 persen, 1,5 persen, 1 persen dan 0,5 persen itu kan perolehan suara,” tegas Aswanto.
Itulah sebabnya, kata Aswanto lagi, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6 Tahun 2020, Mahkamah tetap konsisten menggunakan Pasal 158 UU Pilkada.
Hanya saja, karena pasal 158 sudah mengatur substansi perkara, sehingga keputusan untuk dimajukan atau tidak dimajukan sebagai sengketa, berbeda dengan penanganan sengketa pilkada sebelumnya.
Sebelumnya, lanjut Aswanto, sengketa pilkada diselesaikan di awal. Dalam Peraturan MK yang baru ini, kecenderungan penyelesaian Pasal 158 atau syarat ambang batas pada akhir perkara.
Artinya, Pasal 158 tetap dipatuhi, tetapi Mahkamah harus menggali dulu informasi, mencari bukti-bukti, memperoleh keterangan apakah angka yang ditentukan KPU sesuai dengan sebenarnya
Kalau Mahkamah tidak mendengarkan keterangan para pihak, langsung menentukan Pasal 158 atau ambang batas sebagaimana ditentukan KPU, Mahkamah akan terkesan parsial kepada salah satu pihak
“ Posisi Pemohon, Pihak Terkait berada pada kondisi yang sama. Namun tujuannya untuk mencari kebenaran substantif, bukan sekadar kebenaran formil,” tegas Aswanto. (smh)