TELUKKUANTAN (KuansingKita) – “ Copeklah beranyuik du, kami nak nengok pacu,” berulang-ulang cercaan ini disampaikan para pengunjung yang duduk di tribune gelanggang Tepian Nerosa Minggu (21/8/2022) tadi
Saat itu sebanyak 178 jalur yang menjadi peserta pacu jalur di gelanggang Nerosa 2022 tengah “beranyuik” mengikuti pawai yang sebenarnya tidak berkait kelindan dengan akar budaya pacu jalur
Kerja panitia yang mengada-ada ini tampak sekali tidak disenangi para pengunjung. Mereka mengomel dan melontarkan umpatan berulang kali kepada orang-orang dalam jalur yang tengah berpawai
Ada banyak hal yang membuat pengunjung kesal. Mereka sudah mengeluarkan biaya untuk datang ke gelanggang Nerosa Telukkuantan. Tujuannya tentu ingin menyaksikan pacu jalur tapi yang ditemukan parade “jaluar beranyuik”
“ Tadi waktu pencabutan undian diinformasikan akan ada pacu jalur 20 kali ilir. Awak sudah masuk tribune, Rp 20 ribu kali 3, nyatanya tidak ada pacu, kecewa,” kata Hendri Anto warga Kuantan Hilir dalam komentarnya di media sosial
Sebenarnya kerja panitia ini tidak saja mengecewakan pengunjung, tapi lebih dalam lagi panitia telah berbuat semena-mena. Mereka menghamburkan uang rakyat untuk mengundang menteri dengan alasan pacu jalur.
Tapi yang disajikan bukan pacu jalur yang kaya dengan nilai-nilai budaya. Padahal banyak sekali nilai-nilai budaya tradisional pacu jalur yang perlu difahami Menteri. Sehingga Menteri tertarik untuk mempromosikan paket wisata pacu jalur ke manca negara
Misalnya, bentuk dan ukuran sampan yang digunakan dalam pacu jalur tidak ada duanya di Indonesia. Belum lagi makna filosofis dari berbagai kelengkapan dalam jalur. Di dunia, pacu jalur hanya memiliki kedekatan budaya dengan lomba sampan Danau Ton Lesap di Kamboja
Nilai lain yang ditemukan dalam pacu jalur adalah kepiawaian anak-anak Kuansing dalam berdayung. Mereka sudah terbiasa berdayung dengan speed atau kecepatan yang lebih tinggi dari atlet lomba perahu naga.
Karena itu tak heran anak-anak Kuansing sering menyumbangkan medali emas lomba dayung untuk negara dalam ajang olimpiade ataupun Sea Games
Belum lagi semangat tarung anak-anak Kuansing. Mereka tidak peduli apakah lawan memiliki jumlah atlet lebih banyak, mereka tetap bertarung. Bahkan tidak jarang sampan dengan jumlah atlet lebih sedikit yang memenangkan pertarungan pacu jalur.
Nilai-nilai seperti ini harus diperkenalkan kepada Menteri saat jalur berpacu. Kapan perlu digaris bawahi bahwa nilai-nilai ini sudah menjadi karakter masyarakat Kuansing. Dan nilai-nilai ini masih dilestarikan.
Dari sisi filosofis bisa dijelaskan tentang kepatuhan para pemacu dalam mentaati pancang pemisah. Tidak ada para pemacu yang ingin melanggar pancang pemisah. Artinya secara filosofis masyarakat Kuansing adalah masyarakat yang taat aturan
Inilah sebagian dari nilai-nilai budaya pacu jalur yang sudah diwariskan leluhur masyarakat Kuansing sejak ratusan tahun lalu. Sebab pacu jalur ini bukan dimulai pada era kolonial belanda. Jauh sebelum itu pacu jalur sudah di gelar di Sungai Kuantan
Kolonial belanda masuk ke Kuansing tepatnya ke Telukkuantan pada `1905. Pada tahun itu juga belanda menggelar pacu jalur pada perayaan ulang tahun Ratu Wihelmina atau 31 Agustus
Artinya sebelum belanda masuk sejumlah desa di Kuansing sudah memiliki jalur atau dengan kata lain sebelum belanda masuk 1905 pacu jalur sudah digelar di Kuansing. Buktinya ketika belanda masuk banyak desa yang memiliki jalur karena itu pula pacu jalur bisa digelar 31 Agustus 1905
Pacu jalur yang diwariskan leluhur masyarakat Kunsing adalah hajatan para penghulu adat. Sementara pemerintah hanya berperan memfasilitasi bukan mengintervensi hajatan yang sarat dengan nilai-nilai budaya ini
Kalaulah acara “ jaluar beranyuik” yang meniadakan pacu jalur hari pertama disebabkan kehadiran Menteri, ini sangat keliru sekali. Di masa Asrul Jafaar hampir setiap tahun pacu jalur dihadiri Menteri. Di masa Sukarmis, bukan saja Menteri, malah Wakil Presiden yang datang
Di masa itu, pacu jalur tetap dilaksanakan karena Menteri dan Wakil Presiden itu diundang untuk menyaksikan keunikan pacu jalur, bukan untuk menyaksikan “jaluar beranyuik”. Padahal saat itu peserta lebih 200 jalur. Kini kenapa panitia menggelar hajatan “ jaluar beranyuik” yang tidak berkait kelindan dengan budaya pacu jalur
Kedepan sangat diharapkab pemerintah yang memfasilitasi hajatan pacu jalur ini lebih berorientasi pada upaya menggali akar budaya tradisional pacu jalur, bukan mengada-ada. Sebab pariwisata dunia akan lebih mengapresiasi pacu jalur ini dari nilai-nilai tradisionalnya
Kini yang terjadi biarlah terjadi, kedepan semoga tidak terulang lagi. Dan satu catatan yang tak boleh dilupakan, jangan berpikir mengemas hajatan pacu jalur ini seperti event perahu naga. Biarlah pacu jalur bertahan dengan nilai-nilai tradisionalnya. Sebab itu yang dicari pariwisata dunia. Salam kayuah (Said Mustafa Husin)
