Pejabat yang Hanya Bisa Membangun Citra. Apa Resikonya

“ Dalam pemerintahan Suhardiman Amby saat ini, banyak pejabat yang enggan dikonfirmasi ataupun diwawancarai wartawan terutama untuk objek bahasan yang menyerempet kinerjanya. Maunya mereka, bahasan hanya untuk mengulas hal yang sedap-sedap saja. Ini sangat berbahaya dan harus segera dievaluasi “
Menyimak Kuansing secara sekilas sudah pasti banyak pihak tak menyangka ada pejabat publik yang memegang jabatan strategis tapi enggan dikonfirmasi dan enggan diwawancara wartawan.
Dalam kaidah jurnalistik itu memang hal yang lumrah, hal biasa. Itu hak nara sumber untuk tidak memberi komentar. Tapi dari sisi kepentingan publik terhadap informasi, itu termasuk aneh. Tapi begitulah kenyataannya.
Pertanyaannya kenapa pejabat yang sudah termasuk senior di Kuansing ini bisa melakukan hal itu. Ini tidak lain disebabkan reputasi pejabat itu selama ini sudah terbiasa dibangun lewat pencitraan bukan dari kualitas. Karena itu dia sering mendapat kritikan DPRD
Sepintas pencitraan yang dilakukan para pejabat memang terlihat sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa saja. Padahal, perlu untuk diketahui, dalam negara demokrasi, kepercayaan publik  yang hanya dibangun lewat pencitraan tanpa disadari akan melahirkan gerak turbulensi sosial yang tidak terarah
Pencitraan bukan hal yang haram, sepanjang pencitraan itu berjalan secara mutual dengan realitas sosial, ini akan jauh lebih baik. Artinya pejabat itu boleh membangun pencitraan dengan berbagai gaya, namun kinerjanya harus pula tercermin dalam realitas sosial seperti pembangunan pisik ataupun program-program yang pro-rakyat
Buruknya, kalau pencitraan dengan realitas sosial tidak saling bersentuhan maka disinilah munculnya gerak turbulensi sosial yang tidak terarah. Contohnya pejabat itu sering berkoar-koar akan mengusung program ini ataupun itu tapi kenyataannya tidak ada realisasinya. Disnilah masalahnya
Di sini rakyat akan terpecah dalam warna yang kacau balau.  Rakyat akan kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Kalau pun terkesan ada kelompok rakyat mendukung pemerintah, itu hanyalah kelompok rakyat pragmatis. Mereka akan mengangguk bila ada kepentingan saja
Dalam kondisi ini, penulis filsafat modern Yasraf dalam bukunya Hyperealitas menyebutkan dalam negara demokrasi jika demokrasi tidak menyentuh realitas sosial maka demokrasi akan menjadi simulacrum pada tataran citra.
Inilah demokrasi yang paling mencemaskan. Demokrasi akan mengalami deviasi, distorsi karena banyak kebijakan yang tumpang tindih dengan prinsip lain. Dan ini sudah bisa dirasakan oleh sejumlah pemerhati masalah politik dan sosial di negeri Kuansing
Dan yang sangat mencemaskan, menurut Yasraf, prinsip-prinsip demokrasi akan berkembang ke arah ekstrem. Prinsip kebebasan misalnya, berkembang ke arah kebebasan mutlak, pluralisme berkembang ke arah relativisme, hak azasi manusia berkembang ke arah anarkisme dan sebagainya

Di sini rakyat akan menjadi kacau balau lantaran dikendalikan oleh berbagai gerak turbulensi sosial yaitu semacam gerakan sosial yang tidak beraturan dan acak
Kondisi turbulensi sosial yang tak terkendali ini tidak saja menciptakan kemacetan pada sistem ekonomi, tapi juga kebuntuan pada sistem politik dan sistem sosial
Akhirnya, wacana politik berkembang tanpa arah, wacana sosial menuju kekerasan dalam arti luas seperti pemaksaan kehendak, bahkan wacana budaya terjebak dalam ketidakpastian nilai
Indikasi seperti ini sudah terlihat di Kuantan Singingi. Apalagi kalau menyimak komentar di media sosial yang semakin tidak terarah, mulai dari hujatan kepada bupati dan pejabat lainnya yang tidak beralasan hingga puji-pujian yang tidak pada tempatnya
Kebebasan juga berkembang ke arah kebebasan mutlak, bahkan semakin tidak terarah. Karena itu tidak heran kalau ada pihak yang menghujat bupati menggunakan kalimat-kalimat vulgar dengan berlindung lewat pasal-pasal kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi.
Dalam kondisi seperti ini, bupati juga kehilangan arah sehingga melaporkan pihak yang bermasalah untuk diproses hukum. Padahal langkah ini lebih mencerminkan sikap yang tidak menghargai kebebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi
Kacau balau memang. Tapi begitulah menurut penulis filsafat Yasraf, pencitraan yang tidak bersentuhan dengan realitas sosial akan melahirkan kondisi yang kacau balau. Rakyat akan diseret oleh gerak turbulensi sosial yang tidak terarah, rakyat sering terjebak dalam kebebasan mutlak yang tidak bertanggung jawab.
Untuk itu tentu sangat diharapkan Bupati Suhardiman Amby bisa mengevaluasi para pejabat di lingkungan pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi. Evaluasi ini untuk membatasi pejabat yang hanya bisa membangun citra tanpa mengiringinya secara mutual dengan realitas sosial. Pejabat ini akan menciptakan turbulensi sosial yang sangat berbahaya (said mustafa husin)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...