Sudah 60 tahun berdiri, Kejaksaan Agung RI dinilai masih belum dapat berbenah dalam menciptakan jaksa-jaksa berintegritas melalui sistem internal lembaga yang jelas.
Komisi Kejaksaan, sebagai salah satu lembaga pengawas eksternal Korps Adhyaksa, menganggap bahwa hingga saat ini belum ada pembenahan menyeluruh terhadap sistem internal kelembagaan di Kejaksaan.
Padahal pembenahan itu sangat perlu dilakukan untuk meminimalisasi oknum-oknum jaksa ‘nakal’ dalam menegakkan hukum.
“Dari internal sendiri, perlu membenahi sumber daya manusia secara konsisten. Agar apa, tadi saya katakan, integritas. Cetaklah jaksa yang berintegritas,” kata Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (22/7/2020).
Sebab, menurut dia, hingga saat ini pun di bawah kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin belum ada pembenahan secara utuh dari sisi kelembagaan yang memuat sistem adil bagi seluruh personil kejaksaan di Indonesia.
Bagi dia, salah satu faktor yang dapat dilihat dengan mata telanjang adalah pengangkatan jabatan, kenaikan pangkat ataupun pemberian mutasi bagi seluruh jaksa yang belum memiliki indikator jelas.
Sebab hal itu diyakini dapat menjadi salah satu upaya untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh segelintir oknum jaksa dalam memanfaatkan jabatannya. Karena dengan begitu, mereka memiliki jenjang karier yang jelas.
“Seharusnya sistem yang berbicara, kapan seseorang itu harus naik pangkat, kapan seseorang harus pindah, mutasi kemana,” kata dia.
Sebagai informasi, Kejaksaan Agung sendiri sempat menerbitkan Perja Nomor 11 Tahun 2019 tentang Manajemen Karier Pegawai Kejaksaan RI. Namun, upaya tersebut dinilai Barita tetap belum maksimal dijalankan.
“Jadi jangan seorang jaksa itu selalu tugasnya di Indonesia Timur terus, ada yang hanya di sekitar Jakarta terus. Mesti ada mekanisme yang jelas, kapan dia di kejaksaan tipe B, kapan ke tipe A,” kata Barita.
Meskipun, menurutnya, di era Burhanuddin ini, pembenahan SDM kejaksaan cukup progresif. Barita menyebut, hal itu tercermin dari wacana lelang jabatan Kepala Kejaksaan Tinggi yang sempat direncanakan akan mulai berjalan pada 2020 ini.
Meskipun masih wacana, Barita menilai itu bisa menjadi awal pembenahan internal kejaksaan. Pasalnya, ada semangat untuk menyeleksi oknum-oknum Jaksa yang nakal. Oleh sebab itu, hal-hal tersebut perlu dipertahankan untuk dilanjutkan.
Dia pun menilai bahwa Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan harus turut aktif dalam mengupayakan pembentukan indikator resmi bagi kejaksaan jajaran lainnya dalam melakukan tindakan-tindakan strategis di internal lembaga penegakan hukum itu. Baik itu di lingkungan Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, maupun Kejaksaan Agung.
Hal ini berkaitan dengan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 356 Tahun 2019 Tanggal 29 November 2019 dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pembinaan Nomor 517 Tahun 2019 yang memberikan delegasi wewenang kepada Kepala Kejaksaan Tinggi untuk melakukan mutasi lokal terhadap pegawai di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi masing-masing.
“Misalnya dibuat variabelnya, apa ukuran berhasil, sukses, kemudian capaian kinerjanya. Inilah yang akan menduduki posisi-posisi strategis dan penting,” jelas dia.
Selain itu sebenarnya, pembubaran Tim Pengawalan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) Pusat dan Daerah menjadi langkah menjanjikan dalam reformasi kelembagaan bagi kejaksaan. Sebab TP4 bentukan Jaksa Agung sebelumnya, Mohammad Prasetyo, kerap menjadi lahan untuk memeras kepala daerah dan bagi-bagi proyek.
Sebagai lembaga penegakan hukum, Kejaksaan memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan dan mendakwa pelaku kejahatan yang dilimpahkan dari institusi penegak hukum lain seperti kepolisian dan KPK. Menurut Barita, selama ini kejaksaan tidak dapat berbuat banyak lantaran tidak memiliki kewenangan lebih untuk memeriksa ulang hasil penyidikan, misalnya, kepolisian.
Barita menjelaskan agar Korps Adhyaksa dapat meningkatkan kualitas penegakan hukum, maka jaksa tidak asal menerima berkas penyidikan kepolisian dan menyatakannya lengkap atau P21 sebelum dilimpahkan ke penuntutan.
Mereka harus berani menolak pelimpahan berkas dari penyidik kepolisian jika memang tidak memenuhi unsur-unsur kelengkapan alias P19 (dikembalikan).
“Kan banyak sekali masalah di penyidikan. Berani dong, jaksa menolak mem-P21 kan kalau memang tidak terpenuhi unsur-unsurnya,” kata dia.
Namun nyatanya, kata Barita, selama ini kedua institusi penegakan hukum itu kerap saling melempar kasus pada tahapan P19. Hal itu yang kemudian menyebabkan tumpukan kasus berujung tidak selesai sehingga mengabaikan aspek kepastian hukum.
“Nah itu yang jadi lama, ribuan itu kasus P19 yang tidak kembali,” kata Barita. (sumber CNN Indonesia)