Penulis Said Mustafa Husin (Pemimpin Redaksi KuansingKita)
“ Haruskah intrik-intrik politik yang penuh kelicikan diberi ruang dalam membangun demokrasi. Apalagi kalau intrik itu bertujuan untuk pembungkaman”
Kades Sungai Bawang, Sapto Widodo dikabarkan diperiksa Inspektorat Kuansing, hari ini Selasa (10/6/2025). Sapto adalah suami dari seorang anggota DPRD Kuansing Desi Guswita. Lantaran itu pula, banyak opini yang bermunculan menyikapi pemeriksaan Sapto Widodo
Opini ini muncul lantaran Desi Guswita baru-baru ini membeberkan kebobrokan dalam lembaga DPRD Kuansing terkait SPPD. Itulah sebabnya pemeriksaan Sapto memicu opini yang tidak jarang menjadi perdebatan di ruang publik
Jika pemeriksaan Sapto Widodo merupakan bagian dari intrik maka ada dua institusi yang pantas diduga menjadi biangnya. Pertama institusi politik atau partai politik dan kedua adalah institusi birokrasi yang berkaitan dengan pembeberan Desi Guswita
Fenomena ini sekilas tampak hanya sebuah potret kecil dari dinamika pemerintahan, padahal fenomena ini telah memantulkan bayangan besar, betapa etika jabatan sedang ambruk pelan-pelan di negeri Kuansing. Pejabat saling tuding dan saling bongkar kebobrokan
Kenapa ini bisa terjadi. Ini tidak lain disebabkan para pejabat sudah terbiasa untuk menolak atau tidak bisa menerima kritikan. Sikap ini adalah bentuk prilaku buruk dalam jabatan yang biasa disebut sebagai krisis etika dalam jabatan publik
Perseteruan Desi Guswita sebagai anggota DPRD Kuansing dengan pejabat dari Sekretariat adalah bentuk ego jabatan yang narsistik. Ego jabatan yang meletup di ruang publik tanpa disadari akan merendahkan martabat jabatan publik itu sendiri

Pejabat yang risih dengan kritikan mencerminkan krisis paling mendasar dalam moralitas pejabat itu sendiri sehingga secara umum disebut sebagai krisis etika. Mereka biasanya lebih sibuk membalas kritik ketimbang mendengar jeritan rakyat
Ketika seorang pejabat lebih cepat baper daripada berpikir, lebih reaktif daripada reflektif, itu adalah bentuk dari ego jabatan, Ini adalah gejala dari apa yang disebut Jacques Lacan sebagai “narsisme kekuasaan” yang mungkin saja tengah berkembang di lingkungan pemerintahan Kuansing.
Pejabat yang terjangkit “narsisme kekuasaan” selalu menjadikan simbol jabatan menjadi cermin identitas diri. Karena itu pula, setiap kritikan terhadap simbol atau jabatan itu dianggap sebagai ancaman terhadap eksistensi pribadi. Itu pula yang membuat ego jabatan itu meletup di ruang publik
Dalam struktur seperti ini, pejabat tidak lagi menjadi sosok yang memikirkan rakyat tapi mewakili bayangan ideal tentang dirinya sendiri. Sehingga tidak heran kalau Ia sering menjadikan jabatan sebagai alat pembalasan terhadap ketersinggungan dalam permasalahan pribadi
Pejabat seperti ini akan selalu menjadikan jabatan sebagai alat untuk menanamkan rasa takut di lingkungannya. Ia akan menakut-nakuti atau mengancam lingkungannya atau orang-orang sekitarnya melalui simbol jabatan. Inilah yang disebut Michel Foucault sebagai microphysic of power
Kalau pejabat hanya bisa bekerja dalam pujian maka yang kita bangun sudah tentu bukan demokrasi melainkan panggung opera. Inilah yang akan membuat kita semakin jauh dari realitas. Untuk kemajuan Kuansing ke depan, Bupati Suhardiman perlu mengganti pejabat seperti ini*****
Foto Ilustrasi







