Pemrov Riau Lewat Perda Nomor 10 Tahun 2015 Nyaris Menghilangkan Hak Masyarakat Adat

TELUKKUANTAN (KuansingKita) – Masyarakat hukum adat Riau perlu tahu bahwa beberapa waktu lalu Pemerintah Provinsi Riau nyaris menghilangkan hak masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayat. Amputasi hak masyarakat hukum adat itu dikemas dalam pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) juncto pasal 16 ayat (1) Perda nomor 10 Tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya.
Dalam pasal 10 ayat (1) itu disebutkan bahwa tanah ulayat dikuasai oleh persukuan dan/atau masyarakat hukum adat setempat termasuk benda-benda yang ada di atasnya kecuali “bahan tambang berat” yang berada di dalam bumi.   Sedangkan ayat (2) penguasan bahan tambang berat di dalam wilayah tanah ulayat dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16 ayat (1) mengatur tentang larangan memindahkan hak kepemilikan tanah ulayat kecuali untuk kepentingan nasional, pembangunan di daerah atau kehendak bersama seluruh anggota persukuan masyarakat adat berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 16 ayat (1) ini jelas sekali disusun untuk memberikan ancaman nyata terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya.
Untung saja, tiga orang Masyarakat Hukum Adat Talang Mamak dan Masyarakat Adat Batu Songgan menang dalam perkara uji materil Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Jika tidak, Perda nomor 10 tahun 2015 itu akan dimanfaatkan untuk mengancam dan menguras kekayaan tambang yang tersimpan dalam perut bumi tanah ulayat.
Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 13 P/HUM/2018, tanggal 31 Mei 2018 memerintahkan Gubernur Riau dan Ketua DPRD Provinsi Riau untuk mencabut Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 16 ayat (1) Perda Nomor 10/2015 yang merugikan kepentingan Masyarakat Hukum Adat. Mahkamah Agung menilai pasal yang diuji materil itu bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan mengancam eksistensi masyarakat adat dan hak ulayatnya.
Direktur Walhi Riau, Riko Kurniawan dalam situs resminya mengatakan pencabutan ketentuan tersebut oleh Mahkamah Agung, paling tidak mempertegas posisi Masyarakat Hukum Adat terhadap tanah ulayatnya. Sehingga, ancaman eksploitasi tambang yang mengancam masyarakat hukum adat bisa dicegah atau setidaknya diminimalisir. “ Pencabutan pasal 10 ayat 1 dan 2 serta pasal 16 ayat 1 mempertegas posisi masyarakat adat terhadap tanah ulayat,” katanya
Kekhawatiran terhadap pasal 16 ayat (1) juga dikemukakan Manajer Kajian Kebijakan Walhi Nasional, Even Sembiring. Dalam situs resmi Walhi, Even Sembiring mengatakan ketentuan Perda tersebut apabila diterapkan berpotensi disalahgunakan untuk aktivitas perampasan hak ataupun tanah masyarakat hukum adat dengan dalil kepentingan daerah. Menurutnya pembatalan merupakan suatu keputusan yang sangat tepat.
“Mahkamah Agung melihat secara substansi ketentuan Perda tersebut mengancam hak Masyarakat Hukum Adat,” sebut Even.
Direktur LBH Pekanbaru yang juga sekaligus Kuasa Para Pemohon, Aditia Bagus Santoso sangat mengapresiasi putusan Mahkamah Agung yang dipimpin oleh Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Majelis bersama-sama dengan Is Sudaryono, S.H., M.H., dan Dr. Irfan Fachrudin, S.H., C.N., sebagai Hakim Anggota.
“Saya sangat mengapresiasi. Walaupun tidak keseluruhan permohonan uji materiil tersebut dikabulkan, tapi dua pasal yang dicabut itu telah memupus ancaman terhadap makna pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat,” katanya di situs resmi Walhi
Untuk mengetahui sudah sejauh mana langkah-langkah yang dilakukan Pemrov Riau untuk menindak lanjuti putusan MK ini, KuansingKita masih berupaya untuk menghubungi Gubernur Riau, Syamsuar. Jika didapatkan informasi tentang perkembangannya, KuansingKita akan menyajikan dalam berita menarik. (kkc)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...