TELUKKUANTAN (KuansingKita) – Pengadilan Negeri Telukkuantan melaksanakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana yang lazim disebut diversi
Diversi atau pegalihan penyelasaian perkara anak ini dilaksanakan untuk kasus pidana pencurian yang dilakukan oleh ABH (Anak yang Berhadapan dengan Hukum)
Diversi dilaksanakan di Pengadilan Negeri Telukkuantan Rabu 30 Juli 2025 dengan Hakim Tunggal Subiar Teguh Wijaya yang juga Ketua Pengadilan Negeri Telukkuantan
Pengalihan penyelasaian perkara anak yang berlandaskan pada prinsip keadilan restoratif ini melibatkan Limbago Adat Nagori Kuansing dan Lembaga Adat Melayu Riau yang diwakili Suryawan
Selain itu ikut dilibatkan Pemerintah Desa yang dihadiri Kepala Desa Toar, Kecamatan Gunung Toar, Ardi Setiawan dan Pj Kepala Desa Koto Gunung. Kecamatan Gunung Toar, Gustin Masalina
Lainnya, Cintya Maharani Putri Muharnis selaku Jaksa Penuntut Umum dan Sangipun selaku Pembimbing Kemasyarakatan. Diversi dengan prinsip restorative justice ini berlandaskan azas hukum, ultimum remedium
Juru Bicara Pengadilan Negeri Telukkuantan, Aulia Rifqi Hidayat dalam keterangan tertulisnya memaparkan kasus ini bermula saat Anak bersama rekan-rekannya melakukan pencurian tandan buah sawit seberat 2.527 kg yang bernilai sekitar Rp 6.772.360,
Aksi pencurian Anak dan temannya dilakukan di kebun milik Bastion (Korban) yang terletak di kawasan Desa Toar, Kecamatan Gunung Toar, Kabupaten Kuantan Singingi. Aksi pencurian tersebut kemudian tertangkap oleh warga sekitar
Anak dan temannya dicurigai telah kerap melakukan pencurian tandan buah sawit pada kebun sekitaran Desa Toar. Para pelaku kemudian diserahkan kepada polisi untuk diproses hukum.
Para pelaku pencurian ini berjumlah 4 (empat) orang, setelah dilakukan pemeriksaan, didapati bahwa 1 (satu) orang pelaku masih berusia dibawah umur atau pelaku Anak.
Maka terhadap pelaku Anak tersebut diproses sesuai dengan UU sistem peradilan pidana anak (SPPA), sementara bagi pelaku dewasa lainnya, saat ini juga telah disidangkan dengan berkas terpisah.
Sesuai UU SPPA, hakim wajib mengupayakan diversi atau pengalihan penyelesaian proses pidana, dengan tujuan mengupayakan perdamaian dan menghindari pemidanaan.
Dalam kasus ini, proses diversi berhasil menciptakan perdamaian antara korban dan pelaku Anak. Diversi dituangkan dalam kesepakatan, yang berisi Pihak Korban telah memaafkan Anak tanpa meminta ganti kerugian.
Dalam proses perundingan, awalnya Korban merasa tidak punya kapasitas untuk memberikan maaf, karena yang menangkap pelaku Anak adalah warga.
Kemudian Hakim Subiar Teguh Wijaya berinisiatif untuk mengundang Pemerintah Desa dan Lembaga Adat, sebagai pihak yang bisa memberikan suara mewakili masyarakat.
Hal ini menurut Aulia Rifqi Hidayat didasari pemikiran bahwa penegakan keadilan restoratif (restorative justice) sebisa mungkin melibatkan pihak lain yang terkait dan terdampak.
UU SPPA juga membolehkan adanya pelibatan masyarakat dalam proses diversi. Karena itu dilibatkan Kepala Desa Toar, Ardi Setiawan, sebagai pemangku wilayah dari tempat kejadian perkara (TKP),
Selain itu, Kepala Desa Koto Gunung, Gustin Masalina, karena pelaku Anak dan orang tuanya bertempat tinggal di Desa Koto Gunung.
Sementara perwakilan dari lembaga adat adalah Suryawan, selaku Ninik Mamak dari Limbago Adat Nagori Kuansing.
Dalam proses diversi tersebut, kepala desa serta Ninik Mamak memberikan nasehat dan petuah kepada Pelaku Anak, kemudian bersepakat untuk memberikan maaf atas nama masyarakat kepada pelaku Anak,
Kendati begitu, pelaku Anak masih diberikan syarat sanksi adat berupa penyerahan seekor kambing yang akan dipotong dan dinikmati bersama-sama oleh masyarakat setempat.
Di ujung keterangannya, Juru Bicara PN Telukkuantan, Aulia Rifqi Hidayat mengatakan usai proses diversi itu, pelaku Anak dikembalikan kepada orang tuanya untuk dibina.
” Selama 3 bulan, pelaku Anak akan diawasi oleh Pembimbing dari Balai Pemasyarakatan,” tulis Aulia Rifqi Hidayat dalam keterangan tertulisnya (rls/smh)
Foto Dokumen PN Terlukkuantan
