Sengketa Lahan Masyarakat dengan Pihak Perusahaan di Negeri Ini Kedepan Dikhawatirkan akan Semakin Parah

TELUKKUANTAN (KuansingKita) – Konflik agraria seperti sengketa lahan antara masyarakat dengan pemerintah dan masyarakat dengan  pihak perusahaan dikhawatirkan kedepan akan semakin parah.
Pasalnya pengadaan tanah dalam draft omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang kini tengah diogodok pemerintah mengalami penambahan dalam kategori kepentingan umum.
Dalam pasal 10 UU nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum hanya diperuntukkan untuk 17 kategori kepentingan umum.
Untuk 17 kategori ini pihak yang berhak, wajib melepaskan tanahnya setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kategori kepentingan umum dalam pasal 10 itu diantaranya (a). pertahanan dan keamanan nasional; (b). jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
(c). waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; (d). pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
(e).infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; (f). pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; (g). jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
(h). tempat pembuangan dan pengolahan sampah; (i). rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; (j). fasilitas keselamatan umum; (k). tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
(l). fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; (m) cagar alam dan cagar budaya;kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
(n) penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
(o) prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; (p) prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan (q) pasar umum dan lapangan parkir umum.

Kini 17 kategori kepentingan umum dalam pasal 10 UU nomor 2 tahun 2012 ini mengalami penambahan lagi empat kategori baru. Keempat kategori baru itu diatur dalam pasal 121 RUU Ciptra Kerja
Keempat kategori baru itu adalah kawasan industri minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan lain yang diprakarsai atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD.
Untuk empat kategori baru ini pihak yang berhak atas tanah, wajib melepaskan tanahnya setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Karena itu, seperti dilansir Kompas.com, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti penambahan empat kategori baru dalam kategori kepentingan umum yang sebelumnya diatur dalam pasal 10 UU nomor 2 tahun 2012
Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, meyakini penambahan empat kategori baru dalam pasal 121 RUU Cipta Kerja akan memperparah konflik agaria, ketimpangan, perampasan dan penggusuran tanah masyarakat
Tambah lagi, kawasan lain yang belum diatur RUU Cipta Kerja akan ditetapkan dengan peraturan presiden. Dewi menilai, ketentuan tersebut dapat mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian dan berpotensi merugikan para petani.
Proses alih fungsi lahan yang dipermudah, menurut Dewi, akan memperparah konflik agraria, ketimpangan kepemilikan lahan, praktik perampasan dan penggusuran tanah.
Lewat RUU Cipta Kerja, pemerintah memperluas definisi kepentingan umum dengan menambahkan kepentingan investor pertambangan, pariwisata, industri dan kawasan ekonomi khusus (KEK)
Aktivis wanita ini menekankan, pengadaan tanah tidak dapat dilihat sebatas proses penyediaan tanah bagi pembangunan proyek infrastruktur atau industri semata.
Pemerintah harus juga memperhitungkan dampak sistemik terkait degradasi ekonomi, sosial dan budaya pada lokasi yang menjadi obyek pengadaan tanah serta masyarakat.
“Harus diingat, tanpa RUU Cipta Kerja pun, UU pengadaan tanah secara praktiknya selama ini telah mengakibatkan konflik agraria dan penggusuran,” tutur dia.
Lebih lanjut, Dewi menegaskan bahwa kewenangan pemerintah dalam pengadaan tanah harus tetap dipegang penuh sesuai asas umum pemerintahan yang baik dan berkeadilan.
Sebab, kata Dewi, proses pengadaan tanah, pembebasan lahan dan penetapan ganti kerugian selama ini dijalankan secara tidak transparan dan tidak berkeadilan.
Bahkan, ia mengatakan, tidak sedikit terjadi unsur pemaksaan dan intimidasi terhadap masyarakat yang tanahnya menjadi target pembebasan.
Selain itu, peran dan kewenangan swasta semakin menempatkan posisi masyarakat dalam situasi rentan. Pengadaan tanah sering kali mengesampingkan prinsip keadilan bagi masyarakat yang menolak.
“Pengadaan tanah sering kali mengesampingkan prinsip keadilan, karena bagi pihak yang menolak bentuk dan besaran ganti rugi, prosesnya dititipkan di Pengadilan Negeri sehingga mempermudah proses penggusuran tanah masyarakat,” tutur Dewi.(smh)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...