Membaca Jejak Pemikiran dan Tindakan DR. H. Oemar Amin Hoesin Untuk Pendirian Provinsi Riau (Bagian 1)

Ditulis : Wahyu Diputra
(Dewan Redaksi KuansingKita)
Bersempena ulang tahun Provinsi Riau yang ke 64 ini, saya ingin mengajak masyarakat Riau, terutama lagi masyarakat Kuantan Singingi untuk sejenak membaca jejak pemikiran dan tindakan seorang cendekiawan Indonesia yang berasal dari Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau, DR Oemar Amin Husin yang dituangkannya dalam Perumusan dan Pendirian Provinsi Riau.
Tujuan tulisan ini tak lain agar semua kita dapat mengingat dan menteladani kesungguhan para pendahulu dalam mendarmakan diri untuk kemajuan negeri. Tapi sebelumnya, saya ingin sedikit memperkenalkan tokoh ini kepada generasi muda Kuantan Singingi hari ini yang mungkin belum begitu mengenalnya dan tentu juga kepada pembaca lainnya.
H. Oemar Amin Hoesin dilahirkan di Desa Koto Taluk , Telukkuantan, Kecamatan Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi pada tanggal 22 Oktober 1910 dan wafat di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1969. DR. H. Oemar Amin Husein seorang penerima Bintang Gerilya, sebuah tanda kehormatan yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menghormati jasa seseorang dalam mempertahankan kedaulatan negara dengan cara bergerilya.
Bintang Gerilya ini diberikan kepada rakyat Indonesia yang berjuang pada masa revolusi antara tahun 1945 sampai dengan 1950, terutama saat Agresi Militer Belanda I (20 Juni 1947 – 22 Februari 1948) dan Agresi Militer Belanda II (18 Desember 1948-27 Desember 1949). Penghargaan ini ditetapkan secara resmi pada tahun 1949.
Sebelum masa kemerdekaan, DR. H. Oemar Amin Husein pernah bekerja di Kantor Konsulat Jepang di Padang. Pada masa awal pendudukan Jepang, peristiwa yang terjadi di Sumatera Barat banyak dipengaruhi oleh Soekarno. Boeng Karno berada di Sumatera Barat selama lima bulan, dari Februari 1942 hingga Juli 1942.
Pada Oktober 1943, Jepang memerintahkan pendirian Giyugun untuk membantu pertahanan. Dipimpin oleh Chatib Sulaiman, Giyugun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Tentara sukarela ini kelak menjadi tulang punggung kekuatan bersenjata Indonesia setelah kemerdekaan.
Setahun setelah pembentukan giyugun inilah DR. H. Oemar Amin Hoesin bertugas di Konsulat Jepang di Padang. Setelah masa kemerdekaan, ia diangkat menjadi Kepala Kantor Penerangan di Tanjung Pinang, lalu menjadi Pejabat Departemen Penerangan di Jakarta. Kemudian ia ditugaskan Pemerintah Republik Indonesia menjadi Press Atache di Kairo, Mesir.
Selain itu, DR. H. Oemar Amin Hoesin termasuk salah satu pendiri Sekolah Mualimin di Teluk Kuantan, sebelumnya mendirikan Muhammadiyah di Teluk Kuantan sekaligus mewadahi wilayah Inderagiri. Pada pemilu 1955 Dr. H. Oemar Amin Hoesin terpilih menjadi Anggota DPR-RI dari Provinsi Sumatera Bagian Tengah.
Pada masa-masa inilah DR. H. Oemar Amin Hoesin bersama-sama dengan anggota DPR-RI lainnya, yaitu Ma’rifat Mardjani yang juga berasal dari Kuantan Singingi dan H. Hanafi dari Jambi, intensif melakukan lobi-lobi di tingkat pusat untuk pendirian provinsi-provinsi baru dengan memekarkan Propinsi Sumatera Tengah menjadi Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau.

Sebagai seorang cendekiawan, DR. H Oemar Amin Hoesin termasuk seorang yang produktif dalam membuat karya tulis. Beberapa tulisannya yang pernah diterbitkan menjadi buku adalah “Gelanggang Sastra”, “Menuju Republik Islam”, “Undang Undang Politik Islam”, “Filsafat Islam”, “Sejarah Bangsa dan Bahasa Melayu”, dan “Kultur Islam”.
Diantara buku-buku tersebut, “Filsafat Islam” dan “Kultur Islam” adalah dua buku yang sering dijadikan rujukan di dunia akademik sampai hari ini dan dalam penulisan karya ilmiah oleh penulis-penulis setelah masanya.
Riwayat DR. H. Oemar Amin Hoesin, ini  saya kutip dari beberapa literatur dan wawancara melalui pesan elektronik dengan putra beliau Saifullah Oemar yang sekarang menetap di Jakarta.
Untuk membaca jejak pemikira DR. Oemar Amin Hoesin dalam merumuskan dan memperjuangkan pendirian Propinsi Riau, kita mulai dari sebuah peristiwa paling bersejarah yang melahirkan resolusi dan tuntutan pendirian Provinsi Riau, yaitu peristiwa Kongres Rakyat Riau yang diadakan pada tanggal 31 Januari – 2 Februari 1956 di Pekanbaru.
Dalam Kongres Rakyat Riau ada 5 orang tokoh yang berpidato menyampaikan “Praeadvis” sebelum kongres membuat keputusan berupa tuntutan pendirian Propinsi Riau. Tokoh-tokoh tersebut yaitu Oemar Amin Hoesin, Wan Ghalib, H. Moehammad, Muchtar Husin, dan Gulmat Siregar.
Seluruh pidato ” Praeadvis” yang disampaikan oleh 5 orang tokoh didalam Kongres Rakyat Riau itu, disalin oleh T. Amir Hamzah selaku Sekretaris Panitia Kongres menjadi arsip yang sampai saat ini masih tersimpan dan dapat dilihat pada Jaringan Informasi Kearsipan Nasional (JIKN).

Lewat naskah pidato “ praeadvis” inilah terbaca jelas jejak pemikiran Oemar Amin Hoesin yang menjadi sumbangsih dalam bentuk pikiran terhadap perumusan pembentukan Propinsi Riau.
Arsip Pidato ” Praeadvies” yang disampaikan Oemar Amin Hoesin ini disimpan pada direktori yang berjudul Khazanah Arsip Sejarah Pembentukan Provinsi Riau dengan nama arsip “Pra-eadvies dalam Kongres Rakyat Riau dari Oemar Amin Husin tentang Sosiologi Rakyat Riau”.
Dalam pidato “praeadvise” itu, Oemar Amin Hoesin menyampaikan dua bab pokok pemikirannya. Pertama Bab Sosiologie yang diberi judul “Bersatu dan Berpisah”, kedua Bab Sejarah.
Pada Bab Sosiologie ia memaparkan bahwa ” Group” dapat dilahirkan dengan dua ikatan, yaitu semangat bersama dan persesuaian kemauan. Semangat bersama dan persesuaian kemauan ini terdapat dua jenis, yaitu “Gemeenschaft” dan “Gezelschaft”.
“Gemeenscahft” adalah persekutuan yang asal, yang terjadi dari keluarga, kaum, persukuan, dan desa. Keluarga dengan keluarga membentuk kaum, kaum dengan kaum membentuk suku. Perkenalan suku dengan suku dapat membantunkan desa, karna itu disebut, pertemuan suku dengan suku membentuk bangsa.
Disebutkannya bahwa sebuah gemeenschaft adalah suatu masyarakat agraria, yang kelihatan dari luar sangat lemah persatuannya. Ini disebabkan tiap-tiap desa bersifat segala genap atau merasa cukup. Sehingga perasaan saling memerlukan antara desa kurang, maka persatuannya menjadi longgar
Kondisi itu diperburuk lagi oleh  pandangan sosial masyarakat agraria yang lebih fokus pada pemikiran produksi pertanian. Ini akan turut menambah longgarnya persatuan hidup masyarakat. Sehingga wilayah yang luas, akan membuat persatuan masyarakat bertambah longgar dan lemah.
Apabila dalam masyarakat agraria ini timbul keinginan bersama dan persatuan yang kuat, itu menandakan telah terjadi penindasan di dalam masyarakat. Untuk ini Ia mengutip pendapat “Renan dan Lothdrp” bahwa penindasan yang berlaku terhadap suatu masyarakat agraria mudah sekali menimbulkan revolusi.
Biasanya revolusi dimulai dengan pemogokan dan adanya tanda “sympton apatis”, yaitu serba tidak peduli. Dalam arus keadaan ini haruslah ada keputusan-keputusan yang arif dari pemimpin yang bijak agar terhindar dari arus revolusi. Pemimpin yang mampu membatasi arus revolusi dengan menyalurkan aspirasi yang bergejolak
(Bersambung)
Catatan :
Berikut beberapa literatur yang dicantumkan oleh DR. H. Oemar Amin Hoesin sebagai referensi penyusunan pidatonya :
  1. J. W. Ijserman : Onafhanklijk Keantanlanden ( Kuantan Merdeka)
Terbitan Leiden 1910
  1. Gramberg : Geograpischen Aanteekeningen betrbetreffinde de Res.
Sumatera Ooskut, Special Siak
  1. P. A. van der Lith : Nederlandsche Oost Indie I, T. Bat Genootschap xxlv, 1887
  2. Dll
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...