“KEBAIKAN” Dalam Filsafat Politik Aristoteles

Penulis : Herri Arwandi
Negarawan tidak boleh hanya tahu secara umum apa yang baik bagi manusia, dia juga harus bisa memutuskan secara benar dalam situasi tertentu bahwa suatu tindakan akan menjamin kebaikan. Pandangan inilah yang menjadi klaim awal dari filsuf Yunani Kuno, Aristoteles (384-322 SM) atas kajian politiknya.
Aristoteles yang juga dikenal sebagai murid dari filsuf Plato ini di dalam bukunya La Politica menjelaskan bahwa filsafat politik hadir untuk menimbulkan pemerintahan (kekuasaan) yang diciptakan berdasarkan kebaikan. Ia melugaskan pandangan ini semata untuk menyebarluaskan keadilan dan kesejahteraan.
Aristoteles berpandangan, di dalam politik kita tidak sekedar meningkatkan penyempurnaan akal (pengetahuan), tapi juga memerlukan kehendak yang jujur.
Pemikiran filsafat politik Aristoteles ini sempat diperjelas Politic Reseacher Oxford Micael J White. Director of Spatial Structure in The Social Sciene ini dalam karyanya menulis bahwa hal mendasar dan asumsi yang cukup terkesan untuk Yunani dibuat oleh Aristoteles.
Ia menyebutkan, filsuf Aristoteles mengklaim bahwa apa yang memberikan kehidupan manusia suatu signifikansi adalah fakta yang keberadaannya berdasarkan ‘tujuan kebaikan’ objektif di mana semua tindakan manusia idealnya harus diarahkan.
Aristoteles juga menekankan tujuan pemerintahan haruslah mampu menciptakan tindakan yang mengantarkan kumpulan masyarakatnya kepada kebaikan. Pandangan ini diulas Aristoteles pada buku I, bagian I, La Politica.
Dalam paragraf itu Aristoteles menyebutkan setiap negara merupakan kumpulan masyarakat dan setiap masyarakat dibentuk dengan tujuan demi kebaikan, karena manusia senantiasa bertindak untuk mencapai sesuatu yang mereka anggap baik.
Sehingga, jika seluruh masyarakat bertujuan pada kebaikan, negara atau masyarakat politik memiliki kedudukan tertinggi daripada yang lain dan meliputi elemen-elemen penunjang lainnya, serta bertujuan pada kebaikan yang tertinggi.
Uraian di atas dapat diartikan bahwa pemerintahan terbaik adalah yang mampu menyelenggarakan eudaimonia (kebahagiaan) bagi rakyatnya. Untuk merumuskan itu, pembuat konstitusi harus melibatkan watak dan tradisi rakyat dan lingkungan tempat mereka hidup.
Para pakar politik tidak bisa membuang obat dan membuat negara (pemerintahan) menurut preferensinya sendiri. Dia harus menemukan pola dalam realitas, bukan dalam dunia metafisik; dia juga tidak bisa mengabaikan masa lalu dalam membuat rencana untuk masa depan.

Untuk itu perlu menganalisa dan membuat pertanyaan yang bersifat etis dan normatif. Misalnya di kabupaten Kuantan Singingi, apakah pemerintahan kabupaten Kuantan Singingi melalui visi dan misinya dapat dan sudah mendistribusikan kebahagiaan bagi rakyatnya?
Apakah regulasi-regulasi yang sudah ada sejalan dengan visi dan misi Kabupaten Kuantan Singingi? Sudahkah pemerintahan yang berjalan selama ini bekerja sesuai dengan visi dan misi Kabupaten Kuantan Singingi?
Bagaimana kebahagiaan rakyatnya dapat didistribusikan melalui visi dan misinya oleh pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi? Bagaimana etika dan moralitas dapat disalurkan melalui visi dan misi Kabupaten Kuantan Singingi?
Jelas bahwa pemerintahan juga perlu mempersiapkan dan tunduk atas ilmu pengetahuan tertentu yang menyokong terhadap visi dan misi suatu pemerintahan. Maksudnya beginilah cara kerja mendasar bagi filsafat politik.
Filsafat politik dapat dipahami sebagai timbulnya pembahasan-pembahasan tentang perbaikan suatu rezim ataupun analisa tentang defenisi pemerintahan yang sudah ada. Oleh karena itu, filsafat politik berkecimpung dalam dua tugas utama.
Pertama, ia mengkaji evaluasi kritis dari keyakinan politik, memperhatikan bentuk induktif dan deduktif penalaran. Kedua, ia mencoba menjelaskan dan menyaring konsep-konsep yang digunakan di dalam wacana politik.
Maka dari itu Aristoteles percaya bahwa pemerintahan yang baik lahir dari orang-orang yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan. Jika hak untuk memerintah adalah kebajikan, negara (pemerintahan) terbaik dari pandangan ideal adalah negara yang diperintah oleh orang- orang yang bijak.
Baginya, filsafat politik mampu menemukan negara (pemerintahan) yang paling bisa dipraktikkan, negara yang mungkin diharapkan untuk berjalan secara baik dalam lingkungan historis. Penegasan ini timbul karena Aristoteles mengingkari akan kemungkinan pemerintahan yang bersifat universal.
Gagasan yang kontradiktif mengenai bentuk pemerintahan oleh Aristoteles dapat dipelajari tentang bagaimana dia menjelaskan demokrasi sebagai bentuk tidak sempurna dari polity (pemerintahan/konstitusional). Kendati begitu, pada bagian tertentu Aristoteles justru mendukung bentuk pemerintahan demokrasi.
Secara umum diyakini terdapat dua bentuk utama pemerintahan, seperti yang dikatakan orang tentang mata angin bahwa hanya ada dua arah, yaitu utara dan selatan, sisanya hanyalah variasi dari kedua arah tersebut. Dengan demikian, pemerintahan juga hanya ada dua bentuk, yaitu demokrasi dan oligarki.

Aristokrasi dianggap sebagai salah satu jenis dari oligarki, sebagai aturan dari kelompok minoritas, sedangkan yang disebut pemerintahan konstitusional sesungguhnya demokrasi.(Aristoteles. La Politica (Politik). Visimedia. Jakarta Selatan. November 2007. Hal. 175.)
Maksud Aristoteles mengenai pemerintahan konstitusional merupakan pemerintahan yang terbatas serta tidak absolut, pemerintahan yang patuh pada hukum. Aturan hukum merupakan alat untuk menjamin bahwa tindakan politik didasarkan atas keinginan yang benar.
Manusia adalah mahluk yang sarat dengan godaan dan nafsu. Berdasarkan kelemahan ini, dia menilai bahwa memberikan kekuasaan tak terbatas pada penguasa adalah benar-benar berbahaya. Karena pada manusia nafsu sering kali mendominasi rasionalitas, maka aturan hukum bisa tiba- tiba arbitrer dan egois, menggantikan sikap yang rasional dan mensejahterakan semua.
Hukum di sini maksudnya tidak hanya mengacu kepada tatanan hukum pemerintah saja, termasuk juga hukum adat dan hukum alamiah. Untuk itu dapat dipahami bahwa hukum adalah (akal) intelektual tanpa nafsu.
Dalam kata lain, demokrasi bukanlah sesuatu yang ideal melainkan hanya bentuk yang paling bisa berjalan. Dia memberikan sedikit dukungan pada proposisi bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang paling sesuai dengan watak manusia baik dari sudut pandang teoritik maupun praktik.
Dari pandangan itu dapat disimpulkan, mengapa Aristoteles selalu menekankan kepada pemerintahan yang berdasarkan kepada kebaikan seperti yang kita temui pada awal bukunya La Politica. Begitu pula dengan premisnya agar mempertimbangkan tidak hanya pada bentuk pemerintahan, tapi yang perlu menjadi acuan adalah berjalannya suatu roda pemerintahan.
Untuk ini, Aristoteles memberi alternatif kemungkinan termudah yang dapat dicapai oleh suatu pemerintahan selama itu berdasarkan kepada kebaikan. Negara (pemerintahan) sepenuhnya moral bukan fisik. Kesatuan negara terletak pada suatu komunitas pikiran, kehendak dan tujuan pada bagian anggota indiviu-individu.
Kebaikan umum yang sama dipahami oleh individu-individu yang berlainan dan diupayakan oleh usaha-usaha bersama diantara mereka. Bagian-bagian tak terpisahkan dari negara yang baik disatukan dan dijadikan ke dalam suatu komunitas melalui pendidikan, bukan dengan pembebanan pola konformitas yang kaku.
Artinya kita perlu mempersiapkan orang-orang dengan cara berpikir metodologis. Berpikir metodologi maksudnya apa-apa yang menjadi watak politik untuk mengaktifkan nalar kritis dan tujuan kebaikan bersama. Bukan orang-orang yang melontarkan kritikan penuh carut marut.***
Herri Arwandi : Tokoh Muda Kuansing, Ketua Bidang Pengkaderan GARBI Kuansing, Pencinta Filsafat Yunani Kuno dan berbagai aliran Filsuf Modern, Bermastautin di Simpang Tiga, Telukkuantan
 KEPUSTAKAAN
  1. Aristoteles. 2007. La Politica (Politik). Visimedia. Jakarta Selatan.
  2. Andrew Heywood. 2018. Pengantar Teori Politik Edisi ke – 4. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
  1. Hendry J. Scmandt. 2015. Filsafat Politik; Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Zaman Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
  1. Michael J. White. 2003. Political Philosophy; An Historical Introduction. Oneworld
Oxford. England.
  1. Stephen Palmquis. 2007. Pohon Filsafat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...