Sering kita membaca pemberitaan yang bersifat peradilan sepihak. Pemberitaan yang disajikan media massa secara terus menerus terhadap sebuah objek perkara sehingga membangun opini publik untuk menghakimi tersangka atau terdakwa yang belum tentu bersalah secara hukum
Bentuk pemberitaan seperti ini dalam kaidah jurnalistik sangat menyalahi. Inilah yang disebut dengan Trial By The Press atau peradilaan sepihak oleh media massa. Namun ini jauh berbeda dengan dialektika hukum yang sangat dibutuhkan dalam proses pencerdasan bangsa
Mari kita simak dialektika hukum dalam kasus pembunuhan ibu dan anak di Dusun Penghijauan, Desa Pasar Baru, Kecamatan Pangean, Kabupaten Kuantan Singingi akhir September lalu. Tiga orang terduga pelaku sudah diamankan pihak kepolisian Polres Kuansing sejak Kamis (6/10/2022)
Berdasarkan keterangan Polres Kuansing, RS dan NS sebagai pelaku Curat dijerat dengan pasal 365 KUHP sedangkan AF sebagai penadah dijerat dengan pasal 480 KUHP. Dari penetapan pasal ini muncul dialektika hukum di tengah masyarakat
Mencermati kejadian yang sangat sadis dilakukan para pelaku, masyarakat ingin sekali para pelaku dihukum seberat-beratnya. Lalu dikaitkan dengan berbagai informasi yang pernah disampaikan pihak kepolisian
Misalnya, informasi yang diperoleh polisi, terduga pelaku RS pernah melakukan aksi pencurian di rumah kediaman korban. Sehingga kuat dugaan, pelaku sengaja menghabisi nyawa korban untuk menutupi informasi yang berkembang
Ini juga dikuatkan oleh keterangan polisi bahwa tak ada rentang waktu antara serangan kepada koban Suryani (26) dan ibunya Hasnah (60). Selepas menyerang Suryani, pelaku langsung menghabisi nyawa ibunya Hasnah. Setelah itu pelaku baru beraksi menggerayangi harta milik korban
Artinya, pelaku patut diduga memasuki rumah korban untuk menghabisi nyawa korban. Tujuannya untuk menutupi informasi yang berkembang bahwa pelaku pernah melakukan aksi pencurian di rumah kediaman korban
Namun argumentasi itu tentu mudah terbantahkan. Jika pelaku berencana menghabisi nyawa korban tentu pelaku akan membawa senjata, baik senjata tajam maupun senjata api untuk menghabisi nyawa korban
Sementara yang terjadi pelaku menghabisi nyawa korban menggunakan kapak yang diduga kuat bukan milik pelaku tapi milik korban. Kapak milik korban atau bukan milik pelaku ini bisa dibuktikan dari keberadaan kapak setelah peristiwa itu terjadi. Kapak itu dibiarkan berada dekat korban tergeletak.
Kalau kapak itu milik pelaku, tentu kapak itu akan dihilangkan sehingga tidak bisa dijadikan barang bukti. Sementara kapak yang berlumur darah setelah dijadikan alat untuk menghabisi nyawa korban itu dibiarkan pelaku berada tak jauh dari posisi korban tergeletak.
Karena itu kuat dugaan kapak itu bukan milik pelaku atau dengan kata lain pelaku tidak membawa senjata ketika memasuki rumah korban. Dari fakta itu bisa diperoleh asumsi hukum bahwa pelaku memasuki rumah korban bukan untuk menghabisi nyawa korban sehingga korban sulit dijerat dengan pasal 340 subsider 338 KUHP
Dialektika seperti ini, selalu berkembang di tengah masyarakat untuk menyikapi setiap peristiwa terjadi terutama peristiwa hukum. Namun demikian untuk memaparkan hal-hal seperti ini ada kaidah yang perlu difahami dalam dunia jurnalistik yaitu pers dilarang melakukan Trial By The Press
Pers harus menghindari pemberitaan yang bersifat Trial By The Press atau pemberitaan yang menghakimi secara sepihak melalui pemberitaan terus menerus karena ini terkesan tidak mentaati azas praduga tak berslah atau presumption of innosence
Apalagi larangan ini juga dimuat dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yaitu pers dilarang membuat pemberitaan dengan memuat opini yang menghakimi, artinya Trial By The Press jelas melanggar Kode Etik Jurnalistik. Karena itu, pers tidak boleh melakukan Trial By The Press.*****